03 Mei, 2008

Aksara Lontara Harus Bertahan di Sulsel

Makassar, Salah satu upaya dalam mempertahankan budaya lokal di Sulawesi Selatan (Sulsel) adalah membumikan kembali aksara Lontara di kalangan masyarakat.

"Pembumian aksara Lontara yang merupakan aksara tradisional, yang lahir dari budaya Makassar dan dua etnik lainnya yakni Bugis dan Toraja, dapat mulai diperkenalkan pada siswa Sekolah Dasar (SD)," kata Syahrial Tato, budayawan Sulsel yang juga pendiri Dewan Kesenian Makassar (DKM) disela-sela Seminar Ketahanan Budaya Sulsel yang digelar di Hotel Singgasana selama dua hari, 30 April-1 Mei 2008.

Menurutnya, pengenalan aksara Lontara sebenarnya sudah menjadi muatan lokal pada tingkat SD di era tahun pascakemerdekaan hingga tahun 1980-an. Namun setelah itu, kurikulum pendidikan tidak lagi memasukkan pelajaran aksara Lontara.

Berkaitan dengan hal tersebut, aksara Lontara semakin terpinggirkan dan hanya dibahas pada momen-momen tertentu, jika ada peringatan kebudayaan. Barulah menjelang 400 tahun Kota Makassar tahun lalu, aksara Lontara mulai diangkat kembali oleh Pemkot Makassar, namun baru sampai pada pemberian nama jalan di kota yang berjulukan 'Anging Mammiri' ini.

Sementara mengenai rencana pembentukan Dewan Ketahanan Budaya (DKB) untuk menggali budaya lokal di daerah ini, ia mengatakan, hal itu sangat penting. Pasalnya, budaya lokal semakin terkikis dengan arus modernisasi, sehingga generasi muda saat ini lebih cenderung menerapkan budaya global yang lebih condong ke budaya barat.

Dikatakan, kehadiran DKB itu nantinya akan menjadi 'laboratorium' budaya yang menggodok atau pun menggali budaya lokal yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dalam bermasyarakat maupun dalam tata pemerintahan.
"Salah satu contoh budaya lokal Bugis-Makassar-Toraja adalah filosofi sulapa eppa (empat sisi/unsur) dalam kehidupan yang mengutamakan keselarasan," katanya sembari mengimbuhkan, unsur tanah, air, api, dan angin sebagai konsep empat unsur dalam satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam hidup dan kehidupan manusia.

Selain itu, lanjutnya, filosofi etos kerja dari budaya Bugis Makassar yakni Resopa Temmangingngi naletei Pammase Dewata atau kegigihan dalam bekerja akan mendapat berkah Tuhan merupakan prinsip hidup yang mampu mengeliminasi angka pengangguran serta pengaruh budaya instant yang ingin cepat mendapat hasil tanpa bekerja berat

0 komentar:

Kompas.Com

Berita Surat Kabar Tribun Timur Makassar

BERITAKOTA MAKASSAR